HEADLINE

BAYANGAN NASIB DI CERMIN RETAK





Perempuan itu sibuk hilir mudik menawarkan barang dagangannya, berdesakan diantara para penumpang bis yang turun naik dari terminal, wajahnya terlihat lelah sesekali ia menyeka keringat yang mengalir deras di balik jilbabnya yang lusuh.

Aku hanya memperhatikan dari kejauhan menatap dari balik deretan bangku bangku kosong diantara lalu lalang tubuh para penumpang, duduk diam di sudut dekat jendela yang digantungi horden kusam yang sepertinya bertahun tahun tak pernah tersentuh air. 

Perempuan itu, tentu saja aku masih mengenalnya, dulunya ia sempat menjadi outsourcing di departemenku. Namun nasib baik tidak terlalu berpihak, baru beberapa bulan bekerja ia terpaksa berhenti karena ternyata pihak perusahaan tidak lagi meneruskan kontrakya.

Padahal boleh dibilang orangnya rajin sejak kehadirannya departemenku jadi jauh kelihatan lebih rapi dan bersih karena disentuh oleh tangan perempuan, hampir dipastikan tidak ada lagi gelas ataupun piring kotor yang berserakan di dapur ataupun tertinggal di meja kerja usai aktivitas kemarin yang lupa dibersihkan karena ia telaten menyatroni tiap ruangan sebelum jam pulang.

Setiap hari di sela sela jam sibuk ada saja cemilan keluar dari pantry seperti buah segar, bakwan hingga cireng dan nilai plusnya ternyata hasil racikannya pun juga enak. 

Entah siapa yang memulai akhirnya kebiasaan itu berlanjut, hingga akhirnya kami jadi jarang makan di luar, daripada keluyuran mencari makan siang di jam istirahat yang terkadang cukup menyita waktu lebih baik membeli bahan makanan kemudian diserahkan ke si Teteh untuk dimasak. Tentunya itu jauh lebih sehat karena komposisinya lebih terkontrol dan terjamin kebersihannya. Selain itu kita jadi memiliki waktu untuk saling berinteraksi dengan rekan rekan dari divisi lainnya.

Tapi kegembiraan itu tak berlangsung lama, setelah si Teteh berhenti tentunya dapur kembali mengalami masa suram, tak terurus seolah tak memiliki masa depan dan kami tiba tiba mendadak jadi merasa “ terlantar”.

Sebenarnya aku tidak ingin bercerita terlalu jauh tentang rasa kehilangan sebab aku yakin rasa kehilangan itu jauh lebih berat bagi si Teteh karena ia mesti kehilangan pekerjaan hingga aku melihatnya lagi hari ini dengan keadaan yang sepertinya tidak jauh lebih baik dari kemarin. 

Ya, di luar sana, di dunia yang dijejali berbagai kepentingan hitam dan putih, tidak semua orang beruntung mendapatkan pekerjaan yang mapan, tak terhitung jumlahnya orang orang seperti si Teteh, perempuan perempuan yang terpaksa bekerja di luar rumah untuk membantu menopang kehidupan ekonomi keluarga, ada yang berprofesi sebagai karyawan pabrik, asisten rumah tangga, pedagang asongan, cleaning service hingga penyapu jalan . Keterbatasan ijazah membuat mereka tak memiliki cukup banyak tempat yang menjanjikan untuk menemukan sudut yang lebih terang. 

Mereka bisa jadi adalah tulang punggung yang saat ini mesti menghidupi banyak anggota keluarga, orang tua yang sudah renta atau bahkan bisa jadi seorang single parent dengan anak anak yang masih memerlukan banyak biaya untuk terus bertahan hidup. 

Ya, mereka adalah orang orang sederhana dengan pemikiran yang sederhana, engkau boleh jadi memandang mereka dengan sebelah mata dari tempat sekarang kau berdiri, tapi mereka tidak minta makan dari uang di kantongmu, Bung! sebab mereka bukan peminta minta meskipun pada kenyataannya negeri yang elok dan subur ini belumlah cukup mampu untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat yang mencintainya ( R.Tia)



Tidak ada komentar