HEADLINE

Cerpen Maula Nur Baety_LOVE OR DIE

Cerpen Maula Nur Baety

LOVE OR DIE  




Aku rela pindah Agama, demi kamu Syam. Karena aku sangat mencintaimu, izinkan aku mengubah pandangan kebencianmu pada cinta. 

Terngiang ucapan Viola yang semalam memohon dan merengek akan balasan sebuah kata cinta.

Cihh! Apa-apaan dia, memang dia siapa. Gak ada kata cinta dalam hidupku. Karena cinta membuatku kehilangan keluargaku. Saat mendengar kata cinta. Raut yang tadinya teduh berubah menjadi merah padam akan emosi yang semakin memuncak. 

Ia berlalu begitu saja, membuang berbagai surat cinta dari gadis itu. Ingin menjauh namun ia butuh bantuan gadis itu untuk memancing musuhnya.

Saat melewati meja makan. Terlihat Bibi yang tak lain adalah adik dari Ibunya. 

"Syam sarapan dulu yuk, Nak. Bibi masak makanan kesukaan kamu," tawarnya ramah, penuh kesabaran menghadapi sikap keponakan yang satu ini. 

"Gak perlu. Assalamu'alaikum." 

Ia pergi setelah menjawab dengan datar, seperti biasa. Namun setidaknya ia tak luput mengucap salam.

"Wa'alaikumussalam." 

Tangis pun pecah, sebab ia belum bisa dan gak akan bisa mengubah sikapnya setelah kejadian 15 Tahun yang lalu. Waktu di mana ia menyaksikan ibunya di siksa dan ayahnya meninggal karena Takdir. 

Sampai kapan Nak. Kamu seperti itu, hanya Tuhan yang tahu, mungkin jika ada cinta yang begitu tulus dan suci in syaa Allah mengubah pandangan burukmu terhadap cinta. Ucap wanita paruh baya itu. 

Sementara di ujung jalan Syam terus memandang rumah bergaya Eropa itu dengan mata tajamnya.  

Sebentar lagi Nana tua. Akan tiba waktunya dimana aku akan membunuhmu secara brutal, sama dengan saat kau menyiksa ibuku dengan keji. Geramnya di dalam mobil.

Tidak ada yang lebih menyakitkan selain cinta. Baginya cinta membawa ke simalakama. Sebab berujung pilihan, tak selalu selamanya. Takdir cinta tidak akan sama, semua masing-masing perjalanannya. 

             INTER - MISSION 


"Bagaimana, kamu sudah dapatkan apa yang saya mau?" tanya Syam langsung. Begitu nada dering di angkat. 

"Sudah Pak. Semua berkas tentang perusahaan PT. Alam Indah, dan berkas kelapa sawitnya," jawab sebrang dengan gemetar, karena ada fakta yang mengejutkan. 

"Bagus kalo begitu. Saya tunggu! Haha ... gak sabar melihat wajah tua bangka itu saat tahu perusahaannya bangkrut," 

"Emmm ... Pak, ada yang ingin saya sampaikan," tendengar nada ragu. 

"Apa---"

"Nona Viola adik tiri Nana, setelah Ayah anda meninggal. Nyonya Rani menikahlah lagi dan mempunyai anak perempuan. Tapi---mereka berdua sudah meninggal dalam kecelakaan yang Tuan rencanakan untuk Nana waktu 5 Tahun lalu," akhirnya bisa berkata juga. Gumam Bima yang lega karena dia bisa berterus terang fakta tentang wanita yang sedang dekat dengan bosnya. 

Hening beberapa menit. 

Damn it!!! Dasar wanita biadab. Setelah membunuh ibuku, yang menyebabkan ayahku meninggal. Dia malah menikah lagi. Cihh! Untung udah mati, kalo gak. Gue bunuh habis-habisan. Batin Syam yang kesal karena ia akan sulit untuk menyuruh Viola menggoda si tua bangka itu. 

Eits ... tunggu. Bukankah lebih bagus jika aku menerima Viola, akan aku manfaatkan dia untuk aku lebih mudah masuk dan menghancurkan keluarganya. Masa bodo dengan cinta. Omong kosong masalah cinta. 

"Hallo ... Tuan," 

"Saya tunggu berkasnya." 

Sambungan langsung terputus begitu saja, setelah menikam segala rencana. Syam tersenyum mengejek pada nasib Viola, yang akan ia manfaatkan untuk membunuh kakaknya, sehingga tidak perlu mengotori tangannya sendiri.

Pukul 21:00 WIB. 

Di sebuah apartemen mewah, kawasan Jakarta. Terlihat pria berbadan tinggi, duduk menghadap pemandangan laut malam. Yang terlihat lampu-lampu kecil dari perahu nelayan. Ia menatap dengan pandangan sendu. Di letakan pistol yang disakunya, dan memandang foto gadis kecil yang tak lain adalah adik tirinya. 

Setelah kematian Ayahnya, wanita itu malah menikah lagi dengan pria bule. Tanpa sepengetahuanku, saat itu betapa emosinya. Saat ada orang yang menitipkan kepadanya dan menjelaskan bahwa anak kecil itu adiknya, dan kedua orang tuanya kecelakaan yang disengaja. Ia tahu siapa dalang kecelakaan berencana itu, namun ia memilih diam dan menyusun rencana untuk membunuhnya agar ia tidak kehilangan warisan Ayahnya. 

Namun kini ia diliputi, gelombang gelisah atas rasa yang tak pernah ia alami sekaligus rasakan. Bodohnya ia mencintai adik tirinya, walau ternyata dia bukan anak kandung ibuku, dia anak dari suami yang dinikahinya. 

Aku tidak tahu lagi. Semua terasa buntu, pistol atau bom, bahkan senjata tajam apapun tidak bisa membunuh rasa yang semakin berkobar seiring waktu sebabnya dia bukan anak kecil lagi, sekarang sudah menjadi gadis dewasa yang begitu cantik. 

Ia sempat membunuh perasaannya, namun bukannya mati. Rasa itu semakin hidup bahkan sudah beranak-pinak menyebar segala pikirannya. Oh ... God. Sekarang ia dibakar perasaannya sendiri. 

Sial! Sial! Bagaimana mungkin ia mencintai seseorang yang berstatus adiknya. Bahkan melihat wajahnya tak mampu menahan detak jantung yang begitu cepat. Kesalnya dan melempar apa saja yang ada di hadapannya. 

Tok ... tok ... tok.

"Masuk," jawabnya setelah melihat wajah siapa yang mengetuk pintu. 

"Per---," pria yang baru saja masuk, kaget begitu masuk semua berantakan, "oh astaga! Apa yang terjadi bos?" tanyanya memandang ruangan yang seperti kapal pecah. 

"Diamlah Edward! Cepat katakan ada apa?" tanya to the point, untuk menutupi kebingungan anak buahnya sekaligus sahabat.  

"Huffh ... oke baiklah. Gue gak ngerti dan gak mau ngerti ada apa dengan loe Bro. Tapi gue yakin, saat kau lelah dengan semuanya baru kau akan cerita. Oh ya---gue nganter berkas titipan Kusuma. Dia tidak bisa ngasih berkasnya ke loe soalnya istrinya tiba-tiba melahirkan. Oke kayanya percuma gue ceritain alasannya, toh loe gak pedulian. Gue cabut, see you Bro.

"Bulhaeng! Gue gak seperti itu bangsat. Hanya saja gue susah nunjukin simpatik gue. Oke sekarang temenin gue ke rumah sakitnya. Sekalian belikan hadiah atau kado," 

"Haha oke-oke ... kirain gue loe gak akan peduli pada kisah cerita nasib anak buahnya. Oh ya Bro, tadi gue lihat Viola di daerah dekat tinggal Syam," ucapan Edward sukses membuat Nana bingung dan curiga. Namun di tepisnya langsung karena bisa saja kebetulan.

"Mungkin ada teman kuliahnya yang di daerah situ," dalih Nana agar tidak berfikir yang tidak-tidak. 

"Emmm---mungkin, oke gue siapkan mobil dulu." yang di jawab anggukan oleh Nana. 

Ia selalu menyembunyikan apapun dari Viola, tentang pekerjaan. Tentang pembuhunan dan sebagainya. Ia tidak ingin melibatkan adiknya dan membuatnya ketakutan lantas pergi menjauhi ia. 

Sampai waktu yang tepat, aku akan jujur semua Viola gadis kecilku. Gumamnya. 

Rs. Denelovea. 

Setelah sampai. Nana berjalan mendahului dari yang lainnya, "urus semua biayanya Edward." Lantas ia pergi ke lantai 2 setelah meminta anak buahnya mengurus administrasi. 

Sebelum masuk, ia melihat dari jendela. Ada rasa iri ingin seperti mereka yang di dalam ruang petak bercat putih, dengan berbagai jenis alat medis. Ia ingin meraskaan arti kebahagian, di sayangi, di cintai. Namun lewat siapa ia mendapatkannya. Adiknya menyayanginya sebagai kakak. Tidak ada rasa spesial selain menghargai. 

Ia terduduk merasakan sakit. Bukan badannya akibat membentur ke dinding, namun sakit di lubuk hati karena satu fakta. Ia belum mendapatkan cinta. Ketika ia tahu cinta semua terasa sulit. 

Setelah berusaha merubah raut lukanya dengan wajah datar. Ia mengetuk pintu dan langsung nyelonong begitu saja. 

"Loh---Bapak kok bisa ada di sini?" Kusuma bingung akan bosnya yang datar, cuek dan dingin tiba-tiba di sini. 

"Bagaimana keadaan istrimu?" tanya Nana mengabaikan kebingungan Kusuma. 

"Alhamdulillah Pak, persalinannya berjalan lancar," jawab Kusuma tak percaya bosnya menjenguk istrinya. 

"Hmm. Selamat atas kelahiran bayinya, sebentar lagi Edward akan bawakan hadiahnya semoga suka. Saya permisi," ujar Nana tetap datar. Walau ada rasa ingin merasakan menggendong bayi mungil yang dipelukan ibunya. 

"Makasih Pak, bapak repot-repot. Bapak kesini saja sudah cukup berterima kasih." setelah menjawab dengan anggukan bosnya keluar begitu saja. 

Kusuma tahu. Di balik kebisuan dan raut datarnya, sebenarnya ada sisi lembut dari bosnya yang sulit ia paparkan. 

Setiap ia menatap adiknya, pasti pandangannya berbeda. Ada raut sedih sekaligus senang. Entahlah hanya Tuhan yang tahu alasannya kenapa ia bersembunyi di balik topeng jahat. 

Baru saja Nana membuka pintu keluar Rumah sakit, ia di hadapkan pemandangan yang sering dan tak ingin ia temui untuk saat ini. Supirnya terkapar dengan berlumuran darah dan beberapa sayatan serta lebam di tubuhnya. 

"Shit!!! Bangsat dia mulai lagi," makinya setelah mengecek apakah denyutnya masih berdetak. Ternyata berhenti. Nyawa untuk kesekian again. 

Prok ... prok ... prok. 

"Gak nyangka, seorang bajingan punya rasa peduli terhadap anak buahnya yang istrinya melahirkan. Woi!!! Loe kemana saja Bro. Bukankah sudah banyak orang yang kau bunuh? Uhhh ... tobat ya Pak tua," ledek pria yang tak lain Syam. 

"Gue gak ada waktu untuk ngeladenin, ocehan bocah ingusan kaya loe. Jadi enyah dari hadapanku. Now!!" acuh Nana. Ia malas harus berdarah malam ini, ia sudah berjanji dengan Viola akan datang menemuinya. 

"Wow---Apakah kuping saya tidak salah dengar? Bocah ingusan, oh ya ... lupa, situh kan sudah tua bangka tapi gak laku-laku. Hahaha, mau jadi bujang lapuk Omm," Syam sengaja membuat emosi dan mengulur waktu menghadapi musuhnya. Karena ia tahu rencana kenapa si tua terburu-buru. 

"Shit!!" 

Dengan sekali pukulan mampu membuat Syam terhuyung kebelakang, karena dapat serangan tiba-tiba. 

"Wow ... lumayan juga pukulan loe Bro, baiklah kali ini gue malas harus bersentuhan tangan gue dengan loe, semoga hari anda tidak seburuk kelakuan anda Pak Tua, hahaha." Syam langsung pergi begitu saja karena waktu yang ia atur untuk menggagalkan pertemuan adik dan kakak itu berhasil. 

"Sial. Tunggu saja Syam, bukan hanya pukulan tapi tusukan yang akan membunuhmu." kesalnya karena dia mengulur waktu sehingga ia harus terima kekesalan adiknya lagi. 

Nana mengemudi dengan kecepatan penuh, ia tidak ingin membuat adiknya menunggu lama. 

Saat sampai di rumah lamanya, Nana masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Sudah seluruh rumah ia cari namun hanya para maid yang terlihat. Ia berteriak kepada kepala maid untuk menanyakan dimana Nonanya. 

"Mbok Iyemmm...," teriaknya yang mampu mengalahkan toa pengumuman Rt. 

"Iyaaa, Den. Naon teriak-teriak?" tanyanya sembari membawa panci penggorengan.

"Ngapain bawa panci?" Nana langsung bengong melihat wanita paruh baya satu ini membawa panci. 

"Lah orang Bibi lagi mau masak, eh si Den teriak-teriak," jawabnya dengan santai. Hanya dia yang bisa berbicara santai dengan Tuannya ini.

"Dimana Viola?" tanya Nana mengabaikan masalah panci. 

"Tadi pergi Den, sekitar setengah jam yang lalu. Tapi gak tahu mau kemana, dia gak bilang Bibi," 

"Dengan siapa?" Nana selama ini tidak begitu tahu siapa teman, atau kegiatan apa saja yang dilakukan adiknya. 

"Saya gak tahu Den, Nona Viola bawa mobil." setelah mendengar jawaban si Mbok, Nana langsung keluar tanpa berkata apa-apa lagi. 

Bodoh!

Satu kata yang tepat untuk dirinya. 
Sial! Seandainya bajingan itu tidak mengulur waktu. ia tidak akan membuat kecewa adik sekaligus wanita yang ia cintai. 

Ia terus mengendarai tak tentu arah, bahkan tak peduli dengan apa saja yang tertabrak. Yang saat ini penting baginya adalah minta maaf, sebelum wanita itu berubah pikiran dan gak mau lagi menemuinya. 

Di persimpangan jalan menuju luar kota, ia melewati rumah besar musuhnya, namun bukan itu yang membuat ia berhenti. Ia bertanya-tanya dalam benaknya, gak mungkin Viola kenal si kunyuk itu. Tapi kenapa mobil itu mirip dengan punya Viola. 

Tanpa takut akan pertarungan kesekian, ia mengendarai masuk ke dalam rumah itu. 

Di kediaman Syam. Tepatnya di kamar depan yang menyorot pandangan ke kebun-kebun buah yang begitu segar. 

"Kumohon, ceritakan Syam. Kenapa? Kenapa kalian saling benci, dan akan saling membunuh, bahkan kalian bersaudara," desak Viola yang sudah banjir air mata. Ia tidak percaya ternyata orang yang disuka memusuhi kakaknya. 

"Menyakitkan Vi," lirih Syam tak tahan mengingat masa silam. 

"Please Syam. Tatap mataku," Viola menarik Syam untuk mendekat tubuhnya. 

"Aku berjanji akan membantumu, jika memang Kakakku yang bersalah, kumohon ceritakan apa yang terjadi," ucapnya di depan wajah Syam yang kini bukan penuh amarah namun penuh kesedihan. 

Tanpa sadar, aku mencintaimu. Aku selalu mengelak perhatianmu, selalu menjahui segala tentangmu, namun kini baru kusadari. Ketulusanmu yang meruntuhkan dinding hatiku Vi. Batin Syam menatap wajah wanita cantik dihadapannya. 

"Saat itu aku masih berumur 10 tahun. Aku dan ibuku biasa di tinggal ayahku. Karena kita tahu, bahwa ayah bukan hanya milik ibu. Ibuku istri kedua, pernikahan ibuku dan ayahku tidak direstui oleh keluarga ayahku, sehingga aku dan ibuku di asingkan. Namun ayah, terkadang selalu pulang, karena ayahku begitu mencintai ibuku. Saat ayah pergi dengan jangka waktu lama, kediaman kami didatangi keluarga istri pertama, teruma Nana, Kakakmu yang saat itu sudah berusia 18 tahun. Mereka menyeret aku dan ibuku, dalam keadaan tubuh kami dirantai. Saat itu aku hanya memeluk ibuku, tidak bisa berbuat apapun. Di gudang tua, ibuku di siksa dengan keji. Di cambuk, di tampar, di siram air kotor dan segala kekerasan lainnya. Aku di seret paksa keluar, karena saat itu ternyata Nana menyiram tubuh ibuku dengan minyak tanah. Saat pintu gudang tertutup, dan aku dilempar di halaman, saat itu juga gudang terbakar. Hancur Vi ... hancur. Bagaimana rasanya, melihat ibu yang mengandung kita di bunuh, dihadapan kita. Dan selang beberapa hari, nenek mendapatkan kabar bahwa ayahku meninggal karena sakit, saat tahu ibuku diperlakukan keji oleh keluarga istri pertama. Aku tidak pernah lupa itu Vi. Tidak akan pernah!! Sebelum bajingan itu kubunuh dengan cara yang sama." 

Viola diam. Tidak percaya, sebegitu kejamnya keluarga kakaknya. 

Syam yang tak kuat menahan air mata langsung memeluk Viola, tanpa tahu itu yang terakhir kalinya. 

Brakkkk

Terdengar pintu yang dibuka paksa, membuat dua insan itu terlonjak kaget. 

Nana yang melihat mereka berpelukan, darahnya mendidih. Ia berlari menerjang Syam, memukuk wajahnya, menendang perutnya, bukan hanya di satu titik. 

Syam yang merasa ini waktu yang tepat, langsung bangun dan menerjang balik, menghantam wajah Nana, menendang kepalanya sampai membentur dinding kamar. Melemparnya ke lemari kaca, sampai kaca itu pecah berserakan. 

Pergelutan itu terus berlanjut, dan Nana yang sudah selalu membawa pistol langsung menembak Syam. 

Darah itu meluncur deras, dari balik pundaknya. Namun Syam belum menyerah, ia menerjang dengan kakinya, membuat pistol itu terlempar jauh dari jangkaun Nana. 

Nana langsung menghajar, sampai tak kenal sakit di berbagai wajah atau tubuhnya. 

Viola yang diam bagai patung, kaget akan situasi pertarungan yang begitu dahsyat tidak mampu berdiri. Ia terduduk lemas, menatap perkelahian mereka yang masih berlanjut, bahkan darah sudah menyebar kemana-mana. Ruangan ini sudah tak berbentuk lagi, lantai tak putih lagi. 

Nana yang sudah mendekati pistol itu, langsung mengambi dan menembak Syam, namun terlambat. Bukan Syam yang terkena melainkan Viola. 

Viola melihat dengan jelas, kakaknya mengambil pistol itu, dan ia tahu pasti akan mengarah ke Syam. Ia langsung berlari dan memeluk Syam. 

Dorrr...Dorrr 

Tembakan yang secara refleks, itu tepat mengenai punggung Viola. 

Nana langsung menjatuhkannya, ia tak percaya, dengan kejadian ini.

"Vi ... Vi bangun, kumohon bertahanlah," Syam berusaha membuat mata itu tidak terpejam.  

"Setidaknya, ini cukup untuk membalaskan dendammu pada Kakakku. Aku tahu, sedari awal---ah---se ... sedari awal kamu menfaatkan aku," rasanya sudah tidak kuat bicara. 

"Aku minta maaf, namun kini aku baru sadar aku mencintaimu Vi, aku mencintaimu. Kumohon, jangan tinggalkan aku," air mata yant tidak pernah meneteskan selama setelah kepergian ibunya, kini mengalir deras bercampur darah. 

Viola tersenyum untuk terakhir kalinya, sebelum kematian menjemputnya. 

Shitt!! 

Dengan geram, Syam langsung menghajar Nana brutal. Yang Nana sendiri tidak membalasnya. Ia dengan pasrah menerima semua pukulan itu. 

"Kenapa bangsat. Kau tak membalas HAH? Karena loe sekarang semua orang yang gue sayang pergi. Enyah kau ke neraka!!!!" 

Terlalu menyakitkan, saat kita melihat dengan mata kepala sendiri. Orang yang kita sayang, terkapar. Sehingga ia pasrah, menerima pukulan-pukulan Syam, karena ia dulu dengan kejam membunuh ibunya di hadapannya secara langsung. Ia siap mati, untuk menebus dosanya. 

Dorrr. Dorrr 

Syam memilih mengakhiri hidupnya, setelah melampiaskan semua emosinya. Untuk apa hidup, jika orang yang ia cintai semua pergi. 

Nana yang masih terkulai lemas, tidak percaya, bahwa pria yang masih status saudara kini memilih mati. 

Terasa kabut, tajamnya menembus dinding tak bernyawa. Mampu menikam segala kosakata, hanya seperkian detik rasa sesal dan memilih pergi. 

If the true choice of love is dead, then I choose to die kill all the love.

The end. 


Jakarta, 19 Oktober 2017.


Tentang Maula Nur Baety: lahir di Jawa Tengah, Brebes. Banjaratma, Gg. Batara 2.Rt.04.Rw.09

Tidak ada komentar